Membangun Peradaban Pelayanan Publik
Membangun Peradaban
Pelayanan Publik
Oleh Muhammad Firhansyah
Diakhir Tahun 2013 sekaligus memaknai hari anti korupsi sedunia pada 9 Desember lalu, Ombudsman Republik
Indonesia termasuk Ombudsman Perwakilan Kal-Sel, melakukan survei kepatuhan unit
pelayanan publik pemerintah daerah terhadap UU No 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik.
Survei ini berlangsung pada periode September sampai dengan November 2013. dimana obyek survei adalah Satuan
Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) baik tingkat provinsi maupun kota di 22
provinsi. Ada 12 SKPD yang menjadi obyek survei pada tingkat Pemprov dan 15
SKPD di tingkat Pemkot. Di antaranya adalah Badan Lingkungan Hidup, RSUD, Dinas
Ketenagakerjaan, Kantor Pelayanan Perijinan, Dispencapil, Dinas Pendidikan dan
Dinas Sosial.
Dari hasil
survey tersebut menunjukkan, tingkat ketidakpatuhan
SKPD di 22 Provinsi mencapai 55 persen. bahkan bila melihat hasil survey kepatuhan yang dilakukan Ombudsman RI Perwakilan
Kalsel ada 5 SKPD ditingkat Provinsi dan 23 SKPD ditingkat pemerintah Kota
Banjarmasin yang masuk zona merah. Traffic light atau tiga zona yang
menggambarkan kondisi instansi layanan publik dalam survey tersebut yaitu zona
merah atau yang menggambarkan kepatuhan rendah,. Zona kuning atau
kepatuhan tingkat sedang dan Zona hijau atau kepatuhan tinggi terhadap
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009.
Berkaca dari hasil penelitian tersebut maka kita kembali melihat bahwa
pemerintah sebagai pembuat kebijakan sekaligus penyelenggara pelayanan publik
belum mampu menyelenggarakan pelayanan publik yang baik apalagi kearah
pelayanan berkualitas, meskipun ketentuan tentang pelayanan publik telah
diundangkan melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Undang-Undang Pelayanan Publik merupakan acuan
bagi penyelenggaraan pelayanan publik, termasuk pelayanan publik yang
dilakukan oleh Kementerian dan pemeruntah daerah sebagai perangkat pemerintah
yang membidangi urusan tertentu dalam menjalankan tugasnya melaksanakan
pelayanan dasar ataupun kegiatan teknis
dari pusat maupun di daerah.
Mind Set Layanan Publik Di Indonesia
Kekecewaan masyarakat terhadap layanan publik di Indonesia dalam kurun waktu yang panjang sejak kita merdeka sampai saat ini
terus terjadi. Pola pikir birokrat sebagai penguasa masih bersifat feodal dan bukan sebagai
pelayan publik telah menyebabkan sulitnya melakukan perubahan kualitas
pelayanan publik. kompetensi birokrat yang belum memadai, prosedur pelayanan berbelit-belit, harga pelayanan publik yang mahal dan tidak transparan menambah deretan kusamnya wajah layanan publik direpublik ini.
Masyarakat secara “sengaja”
dikondisikan membayar mahal pelayanan illegal yang seharusnya
menjadi tanggung jawab konstitusional negara dan pemerintah. bahkan, biaya ketidakpastian (cost of
enternity) yang harus dikeluarkan oleh masyarakat setiap kali berhadapan
dengan birokrasi untuk mendapatkan pelayanan publik seolah menjadi budaya yang sulit dikikis dan mendarahdaging sehingga sulit
untuk diberantas, pungutan liar dalam pelayanan
publik adalah hal biasa dan normal. Pungutan liar dan sogokan dalam pelayanan
publik juga telah diterima
sebagai budaya yang sangat sulit dihapuskan
Belum terciptanya budaya pelayanan publik yang berorientasi pada
kebutuhan pelanggan (service delivery
culture) inilah yang menyebabkan belum beradabnya layanan publik
di Indonesia, ditambah mindset dan obsesi para birokrat dan politisi yang mengalihkan birokrasi sebagai objek pemerintahan hasrat dan kekuasaan (power culture) serta Kegagalan pemerintah melakukan perbaikan pelayanan publik maka berimbas melahirkan birokrat-birokrat yang memiliki kerusakan moral (moral hazard) atau tidak beradab
Menuju Pelayanan Yang Beradab
Tak terasa empat tahun sudah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik diberlakukan, namun alangkah ironi implementasinya sampai saat
ini belum dilaksanakan dengan maksimal oleh Pemerintah, padahal sesuai dengan
Pasal 59 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tersebut menyatakan bahwa : “Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan atau ketentuan mengenai
penyelenggaraan pelayanan publik wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini paling lambat 2 (dua) tahun”. Hal inilah juga mengakibatkan pelayanan
publik di Indonesia masih jauh dari harapan masyarakat
Selain itu, Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi (Stranas PPK) jangka menengah 2012-2014 yang dicanangkan oleh
Presiden melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012, bahwa setiap
Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah diantaranya wajib melaksanakan:1.
Sistem pelayanan publik berbasis teknologi informasi dengan fokus pada: Kementerian/Lembaga dan Pemda di seluruh Provinsi
dengan fokus pemberian perizinan; Integrasi mekanisme penanganan
keluhan/pengaduan; Membuka akses antar lembaga untuk menindaklanjuti pengaduan
yang disampaikan masyarakat, 2. Implementasi Undang-Undang Nomor 25 tentang
Pelayanan Publik, keterbukaan dalam
penunjukan pejabat publik, dan penyelarasan Undang-Undang tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. dan 3. Pengembangan sistem dan pengelolaan pengaduan internal dan
eksternal
Dasar hukum diatas sebenarnya sudah cukup untuk menjadi rujukan para birokrat
di pusat dan daerah untuk mewujudkan kualitas pelayanan publik dan menuju peradaban pelayanan publik yang
lebih manusiawi dan tak ada lagi korban
maladministrasi.
Tulisan pernah Di Muat di
Media Radar Banjarmasin, Harian Barito Post dan Harian Mata Banua
Edisi 13 dan 28 Desember 2013
Komentar
Posting Komentar